Setiap hari kalian pasti menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran agama dan kepercayaan kalian masing-masing. Kemudian apa yang ada di benak kalian ketika berbicara tentang agama? Apa sebenarnya yang dimaksud dengan agama? Dalam antropologi, agama merupakan salah satu dari tujuh unsur budaya yang harus dipelajari yang di dalamnya termasuk sistem kepercayaan atau sistem religi.
Berbagai upacara keagamaan atau perayaan agama sebagai salah satu bentuk bahwa kita sebagai manusia yang beragama harus menjalankan kewajibannya sebagai manusia yang taat beragama. Agama berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari keberadaannya sendiri dan keberadaan alam semesta. Agama dapat membangkitkan kebahagiaan batin yang paling sempurna dan juga perasaan takut dan ngeri. Agama memberi lambang-lambang kepada manusia. Dengan lambang-lambang tersebut mereka dapat mengungkapkan hal-hal yang susah diungkapkan. Ide tentang Tuhan telah membantu memberi semangat kepada manusia dalam menjalankan tugas-tugasnya sehari-hari, menerima nasibnya yang tidak baik atau bahkan berusaha mengatasi kesukaran-kesukaran yang banyak dan berusaha mengakhirinya.
Sebenarnya, kepercayaan tradisional hanyalah sebagian kecil dari kebudayaan Tionghoa itu sendiri, namun kepercayaan tradisional yang terbentuk dari kebudayaan leluhur masyarakat Tionghoa sejak zaman pra-sejarah kemudian menjadi salah satu tulang punggung transformasi kebudayaan Tionghoa selama ribuan tahun dalam sejarahnya.
Jadi dapat dikatakan, kepercayaan tradisional ini muncul dari kebudayaan dan merupakan bagian darinya dan dalam perkembangannya juga mempengaruhi bentuk kebudayaan dan segala transformasinya.
Menurut dasar pikiran orang Tionghoa, seluruh fenomena alam
itu dapat dibagi dua klasifikasi yaitu Yang dan Yin. “Yang” merupakan prinsip
dasar untuk laki-laki, matahari, arah selatan, panasnya cahaya (siang), dan
segala yang termasuk keaktifan, sedangkan “Yin” adalah suatu prinsip seperti:
wanita, bulan, arah utara, dingin, gelap (malam), dan segala yang bersifat
pasif.
Orang Tionghoa beranggapan bahwa manusia harus dapat menyesuaikan diri
dengan ritme alam semesta. kehidupan harus harmonis dengan tiga dasar yaitu:
kehidupan langit, bumi, dan kehidupan manusia itu sendiri. Di samping itu harus
disesuaikan pula dengan fengshui yang berarti angin dan air. Penyesuaian itu
berarti hidup manusia itu harus disesuaikan dengan arah angin dan keadaan air
di mana manusia bertempat tinggal. Tiap bangunan yang dipergunakan harus pula
disesuaikan dengan keadaan fengsui, sehingga akan terhindar dari segala
malapetaka.
Kedua prinsip yin dan yang ini merupakan nafas dan kekuatan yang dilambangkan dalam bentuk lingkaran yang dibagi dalam dua bagian dengan garis yang saling melingkar yang memisahkan Yang dan Yin. Bulatan melambangkan prinsip alam semesta, dimana alam semesta ini terwujud oleh karena kedua prinsip kesatuan antara yang dan yin. “Yang” merupakan daya cipta suatu sifat Tuhan yang memberi gerakan dan hidup kepada sesuatu. “Yin” bersifat bahan atau zat yang diberi kemampuan menerima “yang”, sehingga terjadilah hidup dan bergerak. Dengan kata lain, “Yang” bersifat memberi dan memperbanyak, sedangkan “Yin” bersifat menerima dan menyimpan. Adanya kesatuan hidup ini terjelmalah fenomena alam semesta seperti: air, kayu, bumi, dan makhluk hidup di dalamnya.
Dalam kehidupan orang Tionghoa, ada tiga ajaran yang mereka anut yaitu Buddha, Konfusianisme, dan Taoisme. Ketiga ajaran ini sudah saling menyatu (sinkretisme) dan dikenal dengan nama San Jiao atau Sam Kauw (dialek Hokkian).
Berbagai agama masyarakat Tionghoa tempo dulu:
1. Buddhisme atau Buddha
Agama Buddha sudah menjadi bagian dari filosofi masyarakat Tionghoa selama hampir 2500 tahun. Meskipun Buddha bukanlah merupakan agama asli, melainkan pengaruh dari India, tetapi ajaran Buddha mempunyai pengaruh yang cukup besar pada kehidupan masyarakat Tionghoa. Tema pokok ajaran agama Buddha adalah bagaimana menghindarkan manusia dari penderitaan (samsara). Kejahatan adalah pangkal penderitaan. Manusia yang lemah, tidak berpengetahuan (akan Buddhisme) akan sangat mudah terkena kejahatan dan sulit untuk membebaskan diri dari penderitaan.
Pendiri agama Buddha adalah Sidharta Gautama. Ia dilahirkan dari keluarga bangsawan di India. Sewaktu kecil, ayahnya menjauhkan Sidharta dari segala macam bentuk penderitaan dunia, sampai pada suatu hari secara tidak sengaja ia melihat orang-orang yang selama ini belum dilihatnya yaitu orang-orang tua, seorang yang sakit dan yang meninggal. Kenyataan tersebut membuatnya kemudian meninggalkan istana dan bertapa di bawah pohon bodhi. Setelah bertapa selama enam tahun akhirnya ia memperoleh pencerahan sempurna dengan menemukan obat penawar bagi penderitaan, jalan keluar dari lingkaran tanpa akhir yaitu melalui kelahiran kembali kepada suatu jalan menuju Nirwana. Jalan ini yang kemudian dikenal juga sebagai inti dari ajaran Buddha.
Buddhisme masuk ke Cina kira-kira abad 3 Masehi, pada masa pemerintahan dinasti Han. Buddhisme selanjutnya mengalami perkembangan sendiri di negara tersebut. Ajarannya di Cina mendapat pengaruh dari kepercayaan yang sudah ada sebelumnya yaitu Taoisme dan Konfusiansianisme. Hal yang paling terlihat dari percampuran ini ialah dengan munculnya sekte Shan, yang juga muncul di Jepang dengan nama Zen yang merupakan Buddhisme India bercorak Taoisme Cina. Wujud dari agama ini adalah timbulnya versi-versi signifikan dari dewa-dewi buddha, seperti Avalokitesvara, Maitreya, dan sebagainya. Avalokitesvara berubah menjadi Dewi Welas Asih (Guan Yin atau Kwan Im). Dewi ini sangat populer sekali di kalangan orang Cina, tempat orang memohon pertolongan dalam kesukaran, memohon keturunannya, dan lain sebagainya. Dewi Kwan Im dalam penampilannya mempunyai 33 wujud, diantaranya yang paling populer adalah Dewi Kwan Im berbaju putih, Dewi Kwan Im membawa botol air suci, dan Dewi Kwan Im bertangan seribu. Dalam Avalokitesvara, Maitreya juga mempunyai wujud lain di Cina yaitu Mi le fo, seorang yang bertubuh gemuk dan raut muka yang selalu tertawa. Dewa ini dikenal sebagai dewa pengobatan.
Perupaan Dewi Kwan Im
Selain dewa-dewi Buddhis, di dalam sistem kepercayaan rakyat Cina mengenal tiga penggolongan utama dewata, yaitu:
1. Dewa-Dewi penguasa alam semesta yang mempunyai wilayah kekuasaan di langit. Para dewata golongan ini dipimpin oleh dewata tertinggi yaitu Yu Huang Da Di, Yuan Shi Tian Sun, dan termasuk di dalamnya antara lain dewa-dewa bintang, dewa kilat, dan dewa angin.
2. Dewa-Dewi penguasa bumi yang memiliki kekuasaan di bumi, walau sebetulnya mereka termasuk malaikat langit. Kekuasaan mereka adalah dunia dan manusia, termasuk akhirat. Mereka dikatakan sebagai para dewata yang menguasai Wu-Xing (lima unsur), yaitu:
(a) kayu (dewa hutan, dewa kutub, dan lain sebagainya);
(b) api (dewa api, dewa dapur);
(c) logam (dewata penguasa kekayaan dalam bumi);
(d) air (dewa sumur, dewa sungai, dewa laut, dewa hujan, dan lain sebagainya);
(e) tanah (dewa bumi, dewa gunung, penguasa akhirat, dewa pelindung kota, dan lain sebagainya)
3. Dewa-Dewi penguasa manusia, yaitu para dewata yang mengurus soal-soal yang bersangkutan dengan kehidupan manusia seperti kelahiran, perjodohan, kematian, usia, rezeki, kekayaan, kepangkatan dan lain sebagainya. Termasuk dalam golongan dewata penguasa manusia ini adalah para dewata pelindung usaha pertokoan, dewata pengobatan, dewata pelindung, dan peternakan ulat sutra. Di samping itu, terdapat dewata-dewata kedaerahan yang menjadi pelindung masyarakat yang berasal dari daerah yang sama.
2. Konfusianisme/Khong Hu Cu
Konfusianisme atau Konghuchu mulai dikenal di Tiongkok kuno melalui pemikiran-pemikirannya yang cemerlang yang dilontarkan pada zaman Chou Timur (770-221 SM). Konghuchu lahir pada tahun 551 SM berasal dari kota Lu, Provinsi Shandong, China. Pada masa itu dinasti Chou tengah kehilangan kendali terhadap para tuan tanah yang menempati hampir setengah bagian dari wilayah negeri tirai bambu. Konghuchu dibesarkan oleh ibunya karena ia sudah kehilangan ayahnya ketika masih berusia tiga tahun. Ketika dewasa dan bekerja sebagai pegawai di kuil bangsawan Zhou, ia mengikuti semua detail-detail yang terdapat dalam perayaan yang akhirnya menjadikannya sebagai seorang yang ahli dalam ritual agama kuno.
Konfusianisme adalah humanisme, tujuan yang hendak dicapai adalah kesejahteraan manusia dalam hubungan yang harmonis dengan masyarakatnya. Kodrat manusia menurut konfusius adalah “Pemberian Langit”, yang berarti bahwa dalam hal tertentu ia berada di luar piliham manusia. Kesempurnaan manusia terletak dalam pemenuhannya sebagai manusia yang seharusnya. Moralitas merupakan realisasi dari rancangan yang ada dalam manusia. Oleh karena itu, tujuan manusia yang paling tinggi adalah menemukan petunjuk sentral bagi moral yang mempersatukan manusia dengan seluruh isi alam semesta. Bagi Konfusius, manusia adalah baian dari konstitutif dai seluruh isi alam semesta. Manusia harus berhubungan secara indah dan harmonis dengan harmoni alam di luarnya. Ungkapan yang paling terkenal yang merupakan inti ajarannya yaitu tidak berbuat kepada orang lain apa yang dia tidak sukai orang lain perbuatan pada dirinya. Secara praktis ajaran Konfusius dapat disimpulkan menjadi tiga pokok yaitu:
-Pemujaan terhadap leluhur
Pemujaan terhadap leluhur adalah menolong seseorang untuk mengingat kembali asal-usulnya. Di sini asal mula manusia adalah dari leluhurnya. Upacara pemujaan terhadap leluhur di sini diperlukan sesaji. Sebagian besar aktifitas rumah tangga dalam keluarga Tionghoa selalu berhubungan dengan roh leluhur. Salah satu fungsi utama dalam keluarga adalah melakasanakan pemujaan terhadap leluhur. Pemujaan leluhur dipandang sebagai perwujudan dari bakti anak terhadap orang tua dan leluhurnya (Xiao). Pelaksanaan upacara pemujaan leluhur dalam keluarga dipimpin oleh ayah sebagai kepala keluarga. Keluarga Cina menganut garus keturunan dari pihak ayah atau disebut patrilineal. Garis keturunan sangat penting bagi mereka guna menjaga kelangsungan keluarga. Oleh karena itu, anak laki-laki sangat penting untuk meneruskan garis keturunan.
-Pemujaan terhadap Tuhan (Thian)
Konfusius mengajarkan keyakinan kepada pengikutnya bahwa Thian atau Tuhan menjadi awal atas sumber kesadaran alam semesta dan segalanya. Ia menekankan bahwa amat perlu untuk melakukan sembahyang korban terhadap Thian. Pengertian Tuhan dalam kepercayaan Tionghoa sebenarnya juga tidak berbeda dengan agama-agama yang lain yaitu sebagai pencipta alam semesta dan segala isinya. Dalam kepercayaan kalangan rakyat, Tuhan biasanya disebut sebagai Thian atau Shangdi atau Siang Te (dialek Hokkian). Thian adalah penguasa tertinggi alam semesta ini. Karena itu, kedudukan-Nya berada di tempat yang paling agung, sedangkan para dewa dan malaikat yang lain adalah para pembantunya dalam menjalankan roda pemerintahan di alam semesta ini, sesuai dengan fungsinya masing-masing. Di dalam sistem pemerintahan ini, merupakan cerminan dari prinsip Yin dan Yang, yang diwujudkan dalam bentuk pemerintahan di dunia dan pemerintahan surga yang dilakukan oleh para dewa yang dipuncaki oleh Shangdi. Rakyat percaya pemerintahan surga memiliki struktur yang sama dengan pemerintahan dunia. Kalau pemerintahan dunia terdiri dari kaisar, para keluarganya, perdana menteri, menteri-menteri sipil dan militer, dan lain sebagainya, maka pemerintahan surga pun dipimpin oleh Shangdi dan dibantu para dewa-dewa baik sipil maupun militer untuk mengatur tata tertib di alam semesta ini. Sebab inilah maka para kaisar (hung-di) yang di bumi merasa perlu untuk memuja Shangdi (yang berkedudukan di atas) untuk memohon perlindungan dan berkah serta petunjuk-petunjuk untuk menjalankan roda pemerintahan di mayapada ini agar selalu selaras dengan kehendak Shangdi (Shang=di atas, di=tanah).
-Penghormatan terhadap Konfusius
Bagi orang Cina merupakan kewajiban mereka untuk menghormati Konghuchu yang mereka anggap sebagai guru besar seperti halnya penghormatan terhadap orang tua. Konghuchu dianggap telah berjasa dalam mengajarkan dasar-dasar ajaran moral yang sampai sekarang masih terus diterapkan. Filsafatnya yang pada akhirnya menyatu dengan kehidupan masyarakat Cina membuat secara keseluruhan ajaran Konfusius lebih banyak ditujukan kepada manusia sebagai makhluk hidup.
3. Taoisme/Tao
Taoisme merupakan ajaran pertama bagi orang Tionghoa yang dikemukakan Laotze. Ia dilahirkan di Provinsi Hunan pada tahun 604 SM. Dikisahkan, Laotze merasa amat kecewa akan kehidupan dunia, sehingga ia memutuskan untuk pergi mengasingkan diri dengan tidak mencampuri urusan keduniawian. Ia kemudian menulis kitab Tao Te Ching yang kelak menjadi dasar pandangan ajaran Taoisme. Tao berarti “jalan” dan dalam arti luas yaitu realitas absolut, yang tidak terselami, dasar penyebab, dan akal budi. Kitab Tao Te Ching memuat ajaran bahwa seharusnya manusia mengikuti geraknya (hukum alam) yaitu dengan menilik kesederhanaan hukum alam. Dengan Tao, manusia dapat menghindarkan diri dari segala keadaan yang bertentangan dengan irama alam semesta. Taoisme diakui sebagai suatu pre-sistematik berpikir terbesar di dunia yang telah mempengaruhi cara berpikir orang Tionghoa.
Haryono (1994), menyimpulkan bahwa pada dasarnya filsafat Taoisme dibangun dengan tiga kata, yaitu:
Tao Te, “Tao” adalah kebenaran, hukum alam, sedangkan “Te” adalah kebajikan. Jadi Tao Te berarti hukum alam yang merupakan irama dan kaidah yang mengatur bagaimana seharusnya manusia menata hidupnya.
Tzu-Yan artinya wajar. Manusia seharusnya hidup secara wajar, selaras dengan cara bekerja sama dengan alam.
Wu-Wei berati tidak campur tangan dengan alam. Manusia tidak boleh mengubah apa yang sudah diatur oleh alam.
Pada zaman pertengahan dinasti Han muncul seorang yang bernama Zhang Dao-ling, yang juga menulis kitab Tao. Ia juga menyembuhkan orang sakit, membuat jimat sehingga banyak orang yang kemudian menjadi pengikutnya. Begitu besar pengaruhnya hingga pada akhirnya ajaran-ajarannya menjadi dasar dari agama Tao yang kemudian disebut Tao-Jiao. Di dalam penerapannya, aliran mereka berbeda dengan ajaran Tao yang dilontarkan oleh Laotze. Jika Laotze mengajarkan hidup selaras dengan alam, Tao-Jiao justru mengajarkan upaya untuk menentang kehendak alam. Usaha ini mereka lakukan dengan jalan melakukan tapa untuk hidup abadi, membuat jimat-jimat dan kias guna menolak pengaruh jahat, sakit, penyakit, dan sebagainya (Setiawan, dkk, 1982: 156-157). Dalam prakteknya, perwujudan ajaran Tao-Jiao antara lain berupa atraksi-atraksi seperti berjalan di atas bara api, memotong lidah, dan perayaan-perayaan tertentu.
Menurut beberapa artikel yang saya baca
Kepercayaan di dalam bahasa Mandarin disebut sebagai Xin Yang, dan agama disebut sebagai Zong Jiau. Ada orang yang menyebut kepercayaan tradisional ini sebagai Tri-Dharma (Sam Kau = hokkian, Shan Jiau = mandarin) yaitu gabungan antara Taoisme, Konfusianisme dan Buddhisme. Ada pula yang mengklaim kepercayaan tradisional ini sebagai agama Khonghucu. Semua ini boleh2 saja, namun saya sendiri tidaklah menganggap kepercayaan ini sebagai salah satu agama dari ketiga agama tadi ataupun agama baru yang terbentuk darinya.
Saya merasa kepercayaan tradisional adalah hal yang telah ada jauh sebelum agama eksis dan merupakan bagian dari budaya (sinkretisme budaya), malah mempengaruhi bentuk dan transformasi ketiga agama tadi dalam batas2 tertentu. Di zaman dulu, ada atau tidaknya agama leluhur orang Tionghoa, mereka tetap akan memegang teguh kepercayaan tradisional ini. Mari kita bersama2 membahas dan mendiskusikan kepercayaan tradisional masyarakat Tionghoa ini dari aspek budaya dan sejarahnya tanpa terjerumus dalam debat kusir yang tidak berguna mengenai agama atau kepercayaan yang sering kita lihat di forum lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar