Kamis, 31 Desember 2015

Kwee Kek Beng (2)

Sin Po (Hanzi : 新报; Pīnyīn : Xīn bào) adalah nama sebuah surat kabar Tionghoa berbahasa Melayu yang terbit di Hindia Belanda sejak tahun 1910 hingga era setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1965. Pertama kali diterbitkan di Jakarta sebagai surat kabar mingguan pada 1 Oktober 1910. Sin Po kemudian berubah menjadi surat kabar harian 2 tahun kemudian sejak tanggal 1 April 1912.
Surat kabar ini adalah harian pertama yang memuat teks lagu kebangsaan Indonesia; Indonesia Raya, dan turut mempelopori penggunaan nama “Indonesia” untuk menggantikan nama “Hindia Belanda” sejak Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Harian ini juga yang menghapus penggunaan kata ‘inlander’ dari semua penerbitannya karena dirasa sebagai penghinaan oleh rakyat Indonesia. Sebagai balas budi, pers Indonesia mengganti sebutan ‘Cina‘ dengan ‘Tionghoa‘ dalam semua penerbitannya. Dalam percakapan sehari-hari, Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tjipto Mangoenkoesoemo kemudian jugamengganti kata ‘Cina’ dengan kata ‘Tionghoa’.
Sin Po berhenti terbit saat Jepang menduduki Indonesia pada tahun 1942, namun kembali terbit pada tahun 1946. Mengikuti peraturan pemerintah yang berlaku sejak bulan Oktober 1958, surat kabar ini mengubah namanya menjadi Pantjawarta dan kemudian pada tahun 1962 berubah menjadi Warta Bhakti; sebelum akhirnya dibredel pemerintah pada tahun 1965 setelah kejadianGerakan 30 September 1965.
Surat kabar Sin Po mula-mula dipimpin oleh Lauw Giok Lan (pemimpin redaksi). Pada waktu yang sama, ia juga memimpin surat kabar Perniagaan. Sejak tahun 1925 sampai tahun 1947, pemimpin redaksi Sin Po dijabat olehKwee Kek Beng, wartawan terkemuka yang kemudian meninggal di Jakarta pada bulan Mei 1979.
Sin Po adalah salah satu surat kabar terkemuka milik orang Tionghoa di Indonesia yang ikut bersimpati kepada Republik Tiongkok (saat ini bernama Taiwan) yang resmi berdiri pada tahun 1912. Mereka ikut menyuarakan nasionalisme di Daratan Tiongkok. Surat kabar Sin Po saat itu memang memiliki pandangan politik yang pro-nasionalis Tiongkok. Namun karena alasan itu pulalah, yakni berdasarkan ajaran Dr Sun Yat Sen, Sin Po mendukung perjuangan rakyat Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan. Dalam San Min Chu I, Sun Yat Sen menulis perkembangan kemerdekaan Tiongkok tidak akan sempurna selama bangsa-bangsa di Asia belum merdeka.
Selama 20 tahun surat kabar ini mencerminkan haluan politik sebagian masyarakat Tionghoa di Hindia Belanda pada masa penjajahan Belanda. Surat kabar ini berpendirian bahwa masyarakat Tionghoa di Hindia Belanda harus mempertahankan kewarganegaraan asalnya dan menolak ikut serta dalam percaturan politik kolonial Belanda.
Gerakan pro-nasionalis Tiongkok yang didukung Sin Po akhirnya sirna seiring dengan kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945, yang juga banyak didukung tokoh-tokoh Tionghoa. Mereka menyatakan bahwa Tionghoa adalah bagian dari kesatuan bangsa Indonesia yang juga pernah mengorganisir dalam Partai Tionghoa Indonesia (PTI) pada 1932.
“Mereka barangkali sepandangan dengan Dr Josef Glinka SVD, antropolog senior dari Universitas Airlangga, yang menyatakan bahwa soal pribumi atau tidak hanyalah persoalan perhitungan waktu, kapan leluhur mereka pertama datang ke Indonesia. Hal inilah yang mungkin perlu disadari oleh mereka yang hingga kini menebar kebencian terhadap etnis Tionghoa. Seperti kata Glinka, yang lebih dulu datang tentu tidak boleh men-cap yang datang kemudian sebagai non-pribumi”
surat kabar koran sin po
Tampak surat kabar Sin Po memuat lagu Indonesia Raya pada 10 November 1928 (Foto dokumentasi : apakabardunia.com)
Dua minggu setelah dikumandangkan pertama kali secara instrumentalia pada 28 Oktober 1928 (pada Kongres Pemuda II),  di Indonesia; Surat kabar Sin Po; surat kabar milik keturunan Tionghoa yang juga merupakan surat kabar pertama yang pada tanggal 10 November 1928, memuat syair lagu Indonesia Raya gubahan Wage Rudolf Supratman lengkap dengan notasi musiknya. Surat kabar Sin Po memegang peranan penting sebagai penyebar teks lagu kebangsaan ke seluruh penjuru Indonesia.
Pada tahun 1964 di bawah pemimpin redaksi A. Karim D.P. (Daeng Patombong), surat kabar ini mengikuti sikap kelompok pers Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menentang pers anti-PKI yang tergabung dalam Badan Pendukung Sukarnoisme (BPS). Koran Warta Bhakti termasuk di antara sejumlah koran yang dilarang terbit sejak tanggal 1 Okober 1965 karena dinyatakan terlibat Gerakan 30 September 1965.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar