Kamis, 31 Desember 2015

Berbagai Cara Penghormatan kepada leluhur dalam budaya Tionghoa

Penghormatan Leluhur pada budaya China (Hanzi =敬祖;hanyu pinyin =jìngzǔ) adalah kebiasaan yang dilakukan anggota keluarga yang masih hidup untuk berusaha mencukupi kebutuhan anggota keluarga yang sudah meninggal dan membuat mereka berbahagia di akhirat. 
Dasar pemikirannya adalah kesalehan anak (孝, xiào) yang ditekankan oleh Kong Hu Cu. Kesalehan anak adalah sebuah konsep untuk selalu mengasihi orang tua sebagai seorang anak. Dipercaya bahwa meskipun orang yang terkasih telah meninggal, hubungan yang terjadi selama ini masih tetap berlangsung, serta orang yang telah meninggal memiliki kekuatan spiritual yang lebih besar dibandingkan pada saat masih hidup. Pengertiannya adalah para leluhur dianggap menjadi dewa yang memiliki kemampuan untuk berinteraksi dan mempengaruhi kehidupan anggota keluarga yang masih hidup.
Inti kepercayaan terhadap pemujaan leluhur adalah bahwa masih adanya "kehidupan" setelah kematian. Dipercaya bahwa jiwa orang yang meninggal terbuat dari komponen Yin dan Yang yang disebut hun dan po. Komponen Yin, po (魄), diasosiasikan dengan makam,dan komponen Yang, hun (魂), diasosiasikan dengan papan nama leluhur yang dipajang pada altar penghormatan leluhur (sekarang seringkali digantikan dengan memajang foto). Po mengikuti tubuh ke dalam makam (ke pengadilan)dan hun tinggal dalam papan nama leluhur. Hun dan po tidaklah abadi dan perlu dipelihara (diberi makan) dengan persembahan, atau keduanya akan pergi ke akhirat (meskipun hun pergi ke surga terlebih dulu). Tidak seperti istilah yang digunakan bangsa barat, akhirat tidak memiliki konotasi negatif.
Keadaan pemujaan leluhur di China modern dilaporkan mengalami penurunan pada wilayah yang lebih dipengaruhi oleh rezim komunis (yang tidak ramah terhadap praktik keagamaan). Namun pada daerah pedesaan, dan juga Taiwan, pemujaan leluhur dan praktiknya masih biasa ditemukan.
Praktik yang mungkin/masih di jalankan hingga sekarang:
1. Ritual Berkabung
Penghormatan terakhir sebelum tutup peti

Praktik berkabung biasanya menggunakan tata cara yang terperinci , dan yang umumnya selalu ada adalah: Meratap sebagai penanda bahwa terjadi kematian di dalam keluarga, keluarga mengenakan pakaian putih pemakaman, memandikan jenasah, mempersembahkan barang-barang secara simbolis kepada jiwa yang meninggal (seperti uang dan makanan), menyiapkan dan memasang papan arwah, memanggil spesialis ritual (pendeta Tao atau Buddhis), memainkan musik atau membacakan doa untuk menemani jenasah dan menenangkan jiwa yang meninggal, menutup peti jenasah, menjauhkan peti dari masyarakat.[3] Terdapat kepercayaan bahwa keras-tidaknya ratapan yang dikeluarkan menggambarkan hubungan orang yang meratap dengan yang meninggal.
Jika orang yang meninggal berusia di bawah 80 tahun, semua perlengkapan (lilin, kain nama, taplak meja, dan sebagainya) menggunakan warna putih. Tetapi jika yang bersangkutan berusia lebih dari 80 tahun, peralatan yang digunakan sebagian berwarna merah untuk menandakan bahwa ia telah mengalami hidup yang panjang dan bahagia. Warna merah bagi masyarakat China memiliki arti bahagia, sedangkan putih berarti berduka-cita.
Masyarakat China tradisional juga membedakan antara keturunan dalam dan keturunan luar. Keturunan dalam adalah semua anak, cucu, cicit, dan buyut yang berasal dari anak pria; sementara keturunan luar berasal dari anak wanita. Anggota keluarga yang termasuk ke dalam keturunan dalam menggunakan ikat kepala berwarna putih yang dijahit dengan seperca kain goni, sedangkan anggota keluarga yang termasuk keturunan luar mengenakan ikat kepala putih yang dijahit dengan seperca kain merah.
2. Ritual Pemakaman

Menurut budaya tradisional China, dikatakan bahwa terdapat dua hal penting yang harus dilakukan seseorang agar hidupnya dapat dikatakan sempurna; Pertama adalah memakamkan ayahnya, kedua adalah memakamkan ibunya. Pemakaman dianggap menjadi bagian dalam perjalanan hidup normal sebuah keluarga, dan menjadi pemersatu keluarga-keluarga dari generasi ke generasi. Tujuan utamanya adalah melindungi jiwa yang meninggal dari roh jahat, mengarahkan jiwa Yin ke bumi, dan jiwa Yang menuju tempat para leluhur. Pemakaman memastikan jiwa yang meninggal merasa nyaman dan tentram, serta memberikan peruntungan bagus bagi para keturunannya. Saat orang yang terkasih meninggal, jenasahnya dimandikan dan dikenakan pakaian pemakaman (atau "pakaian panjang umur" yang melambangkan umur panjang bagi jiwa.
Profesional Tao atau Buddhis juga dapat dipanggil dalam proses pemakaman untuk mengusir roh-roh jahat dan memberi energi bagus kepada yang meninggal. Keluarga akan meletakkan papan leluhur di atas altar pada rumah mereka di antara papan-papan arwah leluhur yang lainnya. Tindakan tersebut melambangkan persatuan para leluhur, serta demi kepentingan garis keturunan keluarga.[2] Hio dinyalakan di depan altar setiap harinya, dan persembahan seperti makanan favorit, minuman, dan uang arwah (kimcoa) dipersembahkan setiap bulannya. Uang arwah adalah uang kertas yang dibakar (sehingga dapat diterima jiwa leluhur dan mereka gunakan di akhirat); pada zaman sekarang juga disediakan bentuk kartu kredit arwah, televisi arwah, sepeda arwah, dan sebagainya.
Semakin kaya sebuah keluarga, mereka biasanya juga akan semakin lama menunda masa penguburan; peti mati akan ditempatkan pada ruangan rumah yang disediakan untuk waktu yang lebih lama. Contohnya adalah, sebuah pemakaman yang menguntungkan dapat terjadi beberapa tahun setelah penguburan, tulang-belulangnya digali, dicuci, dikeringkan, dan disimpan dalam guci tanah liat (keramik). Setelah selang beberapa waktu, isinya akan dimakamkan kembali untuk terakhir kalinya pada lokasi yang telah dipilih oleh seorang ahli feng shui.
3. Penghormatan Selanjutnya

Para keturunan orang yang meninggal akan memakamkan leluhur mereka bersama dengan barang-barang yang mereka harapkan akan dibawa ke akhirat. Beberapa keluarga kerajaan meletakkan bejana perunggu, tulang orakel, serta korban manusia atau binatang di dalam makam. Semua persembahan tersebut dipandang sebagai segala sesuatu yang akan dibutuhkan jiwa tersebut di akhirat dan sebagai wujud bakti kepada leluhur. Persembahan yang paling umum adalah membakar hio dan lilin, dan mempersembahkan arak serta makanan. Seorang medium shi (尸) adalah perwakilan persembahan dari keluarga orang yang meninggal semenjak masa Dinasti Zhou (1045 SM-256 SM). Selama upacara shi, roh orang yang meninggal akan memasuki sang medium yang selanjutnya akan makan dan minum persembahan serta menyampaikan pesan spiritual.
Adapun Berbagai Jenis Ritual lainnya:

Persembahan


Persembahan diberikan secara berkala oleh anak-cucu kepada leluhur yang telah meninggal. Festival seperti Cheng Beng memerlukan persembahan seperti makanan, buah-buahan, dupa, dan lilin.

Uang Arwah
Lihat pula: Jinzhi (Ritual)

Masyarakat China biasa mempersembahkan uang arwah atau uang orang mati. Jinzhi adalah bukanlah uang yang digunakan oleh manusia di dunia, melainkan lembaran kertas yang melambangkan uang. Saat dibakar di altar atau di makam, dipercaya bahwa nilainya akan ditransfer kepada leluhur di dunia akhirat. Terdapat dua jenis uang arwah, yaitu uang emas dan uang perak. Uang emas digunakan sebagai persembahan untuk para dewa, sementara uang perak digunakan sebagai persembahan untuk leluhur.

Doa

Doa biasanya dilakukan pada altar rumah. Pria tertua dalam keluarga akan berbicara mewakili seluruh anggota keluarganya dalam doa harian. Ritual ini sangatlah penting karena adanya kepercayaan bahwa jika mereka melupakan garis keturunan mereka, mereka akan dihantui atau menjadi roh gentayangan saat meninggal nanti.

Feng Shui
Kompas Fengshui Luopan
Lihat pula: Feng Shui

Feng Shui dalam pemakaman berfungsi untuk mengatur aliran chi berdasarkan posisi makam. Aliran chi yang buruk akan menyebabkan arwah menjadi tidak tenang. Arwah tersebut dapat kembali untuk menghantui keturunannya, sehingga lokasi yang memiliki feng shui bagus selalu dipilih untuk memakamkan leluhur.
Berbagai Festival pun di lakukan untuk mengenang orang yang sudah meninggal:

Qingming

Qingming ("jernih-terang") merupakan festival membersihkan makam yang biasanya jatuh pada tanggal 4 April. Festival ini merupakan festival menyambut musim semi, yang dianggap sebagai waktu pembaharuan dimana keluarga yang telah meninggal akan berkumpul kembali dengan yang masih hidup.[5] Saat festival ini berlangsung, anggota keluarga akan menjenguk makam leluhur mereka untuk membersihkan (menyapu tanah dan mencabuti rumput) kemudian menghiasnya kembali (menanam bunga segar atau menambahkan ornamen baru) sebagai cara untuk merayakan masa kehidupan leluhur yang telah meninggal daripada menangisinya. Perhatian dan pelayanan seluruh keluarga umumnya difokuskan pada makam anggota keluarga yang paling terakhir meninggal, atau leluhur yang paling menonjol, misalnya leluhur yang mengawali garis keturunan keluarga.[1]

Sembahyang Rebutan

Pada bulan ke tujuh penanggalan Imlek, dipercaya bahwa gerbang antara akhirat terbuka bagi para roh untuk memasuki dunia manusia serta melakukan apa yang mereka inginkan. Selama masa ini, masyarakat biasanya mempersembahkan makanan atau (uang arwah) agar roh-roh tersebut tenang. Uang arwah dipersembahkan kepada para leluhur diiringi rasa bakti. Roh-roh yang tidak diberi persembahan oleh keturunannya akan menjadi kelaparan dan membawa kesialan bagi keluarganya. Festival ini sangat penting karena selama periode ini, alam manusia dipenuhi roh-roh bergentayangan.

Kepercayaan Tradisional Masyarakat Tionghoa

Saya tergerak untuk menurunkan tulisan singkat dan dangkal mengenai ini setelah ada anggota forum Budaya Tionghoa yang menunjukkan perhatian dan antusiasme yang besar tentang kepercayaan tradisional, pikiran yang mendasarinya dan ritual2-nya yang banyak terlihat dalam interaksi dengan suku Tionghoa yang masih memegang teguh adat tradisinya, namun terasa asing bahkan untuk pelaku dan pelaksana kepercayaan tradisional itu yang notabene adalah orang Tionghoa sendiri.
Saya mengharapkan tambahan dan koreksi dari para teman yang juga tahu dan punya pengetahuan di bidang ini untuk melengkapi isi dari tulisan singkat ini. Mudah2an sedikit tulisan ini dapat memperkaya koleksi arsip tentang kebudayaan Tionghoa yang memang sangat minim di Indonesia.
Kepercayaan tradisional ini sebenarnya bukanlah suatu agama tertentu seperti yang menjadi kesalahpahaman dan salah kaprah mayoritas pemeluk agama lainnya.

Kepercayaan di dalam bahasa Mandarin disebut sebagai Xin4 Yang3, dan agama disebut sebagai Zong1 Jiau4. Ada orang yang menyebut kepercayaan tradisional ini sebagai Tri-Dharma (Sam Kau = hokkian, Shan1 Jiau4 = mandarin) yaitu gabungan antara Taoisme, Konfusianisme dan Buddhisme.
Ada pula yang mengklaim kepercayaan tradisional ini sebagai agama Khonghucu. Semua ini boleh2 saja, namun saya sendiri tidaklah menganggap kepercayaan ini sebagai salah satu agama dari ketiga agama tadi ataupun agama baru yang terbentuk darinya.
Saya merasa kepercayaan tradisional adalah hal yang telah ada jauh sebelum agama eksis dan merupakan bagian dari budaya (sinkretisme budaya), malah mempengaruhi bentuk dan transformasi ketiga agama tadi dalam batas2 tertentu.
Di zaman dulu, ada atau tidaknya agama leluhur orang Tionghoa, mereka tetap akan memegang teguh kepercayaan tradisional ini.
Mari kita bersama2 membahas dan mendiskusikan kepercayaan tradisional masyarakat Tionghoa ini dari aspek budaya dan sejarahnya tanpa terjerumus dalam debat kusir yang tidak berguna mengenai agama atau kepercayaan yang sering kita lihat di forum lainnya.
Pandangan terhadap alam semesta dalam kepercayaan tradisional
Sejarah kebudayaan Tionghoa seperti kebudayaan kuno lainnya juga dimulai dengan mitologi. Di zaman dahulu kala, leluhur orang Tionghoa mulai menuliskan pandangan mereka terhadap alam semesta ini.
Mereka menganggap bahwa sebelum dunia ini terbentuk, langit (Tian1) dan bumi (Di4) merupakan satu kesatuan yang disebut dengan keadaan tidak berbentuk atau chaos (Hun4 Dun4).
18 ribu tahun kemudian, seorang bernama Pan2 Gu3 mulai memisahkan langit dan bumi. Setiap hari, langit bertambah tinggi 3.3 meter, bumi bertambah tebal 3.3 meter dan Pan Gu bertambah tinggi 3.3 meter.
Demikian seterusnya 18 ribu tahun berlalu dan langit telah sangat tinggi, bumi telah sangat tebal. Setelah Pan Gu wafat, anggota tubuhnya kemudian menjadi matahari dan bulan, gunung dan laut, sungai dan danau.
Inilah yang disebut sebagai legenda Pan Gu memisahkan langit dan bumi (Pan2 Gu3 Kai1 Tian1 Di4) dan Pan Gu juga mendapat gelar Raja Langit Pertama (Yuan2 Shi3 Tian1 Wang2). Jadi, sebenarnya juga ada mitologi penciptaan di dalam kepercayaan tradisional Tionghoa, cuma Pan Gu adalah tetap merupakan sosok manusia yang kemudian menjadi tokoh legendaris yang tidak pernah di-Tuhan-kan.
Di kemudian hari, dalam mitologi bangsa Tionghoa juga ada tokoh legendaris Nu3 Wa1 yang dikenal sebagai ibu pertama dari bangsa Tionghoa menciptakan manusia dan menambal langit yang bocor. Fu2 Xi1 yang mengajarkan cara membuat jala dan menangkap ikan, beternak dan berburu, menciptakan Ba1 Gua4 (8 diagram) dan Shen2 Nung2 yang mengajari cara bertani, ahli obat2 tradisional dan memperkenalkan minuman teh.
Di masa ini, leluhur orang Tionghoa menganggap bahwa alam semesta ini terbagi atas 2 bagian yaitu langit dan bumi. Namun sampai pada munculnya Taoisme dan masuknya Buddhisme ke Tiongkok, bagian alam semesta tadi berkembang menjadi yang sekarang kita kenal yaitu 3 bagian yang terdiri dari alam Langit (Tian1 Jie4), alam Bumi (Ming2 Jie4) dan alam Baka (You1 Jie4).
Tiga Alam
Konsep tiga alam adalah inti dari kepercayaan tradisional Tionghoa. Leluhur orang Tionghoa percaya bahwa tiga alam ini mempunyai peranannya masing2 dalam menjaga keseimbangan alam semesta ini. Ketiga alam ini tidak dapat dipisahkan dan berdiri sendiri tanpa kedua alam lainnya.
Alam Langit (Tian1 Jie4) adalah menunjuk pada alam yang didiami dan menjadi tempat kegiatan para raja2 Langit (Tian1 Wang2) dan dewa-dewi langit (Tian1 Shen2). Alam ini dianggap sebagai pusat pemerintahan alam semesta, yang mengatur seluruh kehidupan di alam bumi. Orang2 besar yang berjasa di bidangnya masing2 terhadap masyarakat Tionghoa di zamannya dapat naik menjadi dewa-dewi di alam Langit. Nenek moyang dalam mitologi seperti Nu Wa, Fu Xi dan Shen Nung serta kaisar2 legendaris seperti Yao2, Xun4 dan Yu3 adalah bertempat tinggal di sana bersama dengan dewa-dewi pejabat pemerintahan langit lainnya yang akan diterangkan lebih lanjut dalam bagian yang lain.
Alam Bumi (Ming2 Jie4) adalah menunjuk pada bumi tempat kita berada, yang menjadi tempat tinggal dan tempat kegiatan dari seluruh makhluk hidup. Dewa-dewi dan pejabat di alam Langit bertanggung jawab melaksanakan tugas pemerintahan mereka di alam Bumi. Juga disebut sebagai Yang2 Jian1 ataupun Ren2 Jian1.
Alam Baka (You1 Jie4) adalah menunjuk pada alam di bawah bumi ataupun alam sesudah kematian, yaitu alam yang menjadi tempat domisili dan kegiatan dari roh2 (Ling2) dan hantu2 (Gui3) dari manusia setelah meninggal dunia. Di alam ini, ada sekelompok dewa dan pejabat alam yang khusus memerintah di alam ini. Dalam kepercayaan tradisional, leluhur orang Tionghoa mempercayai bahwa kehidupan setelah meninggal adalah lebih kurang sama dengan kehidupan manusia di dunia ini. Di alam ini, setiap orang akan menjalani pengadilan yang akan membawa kepada hadiah maupun hukuman dari dewa dan pejabat di alam ini. Alam Baka keseluruhan berjumlah 10 Istana Yan Luo (Shi2 Dian4 Yan2 Luo2) dan 18 Tingkat Neraka (Shi2 Ba1 Ceng2 Di4 Yu4).
Dalam perkembangannya, kepercayaan mengenai alam Baka ini kemudian terpengaruh oleh konsep reinkarnasi dari Buddhisme yang ditandai dengan kepercayaan bahwa roh yang hidup di alam Baka kemudian akan terlahir kembali ke dunia sebagai manusia setelah lupa akan kehidupan sebelumnya dengan meminum sup Meng4 Po1 dan melewati jembatan Nai4 He2. Perbedaan yang mendasar adalah bahwa kepercayaan tradisional ini menganggap manusia hanya akan terlahir kembali sebagai manusia dan tidak sebagai makhluk lainnya.
Hubungan dan Interaksi Antar Tiga Alam Alam Langit, alam Bumi dan alam Baka adalah mempunyai hubungan satu sama lain dan dapat berinteraksi di antaranya. Kepercayaan leluhur orang Tionghoa bahwa ada kehidupan setelah kematian, seseorang yang telah meninggal akan menjadi roh (Ling2) ataupun hantu (Gui3).
Roh ini terbagi atas roh yang baik dan jahat. Roh yang dihormati dan dikenang oleh keturunannya sehingga dapat menjaga, melindungi dan membawa berkah pada keluarga anak cucunya adalah roh leluhur yang baik. Sedangkan roh yang tidak mendapat penghormatan, perlakuan layak dan wajar oleh keturunannya ataupun yang meninggal secara tidak wajar biasanya merupakan roh yang jahat. Roh yang jahat inilah yang biasanya kita kenal dengan sebutan hantu.
Namun, tidak semuanya akan menjadi roh ataupun hantu. Ada tokoh2 tertentu yang berjasa dan berkontribusi besar bagi masyarakat, kebudayaan dan negara akan naik derajatnya menjadi dewa-dewi yang patut dihormati masyarakat luas untuk mengenang dan menghormati jasa2 mereka.
Banyak dari dewa-dewi leluhur orang Tionghoa yang sebenarnya merupakan tokoh sejarah yang benar-benar pernah hidup pada masanya dan bukan cuma legenda atau mitologi. Dewa-dewi tersebut mempunyai peranan dan kelebihan masing2 seperti Guan Gong (nama asli Guan1 Yun2-chang2) yang hidup masa Dinasti Han akhir (Tiga Negara) dipuja sebagai Dewa Perang yang melambangkan kekuatan dan kesetiaan, lalu Ma Zhu Niang-niang (nama asli Lin2 Mo4-niang2) yang hidup di zaman Dinasti Sung yang dipuja sebagai Dewi Maritim yang melambangkan bakti seorang anak kepada orang tuanya.
Dari semua bentuk interaksi ini, yang paling nyata dan penting dalam kepercayaan tradisional ini adalah upacara merayakan ulang tahun dewa-dewi (Wei4 Shen2 Zuo4 Shou4) dan membantu roh untuk terbebas dari penderitaan (Ti4 Gui3 Cao1 Sheng1, dalam agama tertentu dapat disamakan dengan pelimpahan jasa2).
Kedua upacara ini biasanya diselenggarakan bersamaan pada hari2 ulang tahun dari dewa-dewi tersebut. Semua ini dilakukan demi penghormatan kepada dewa-dewi dan roh2 yang dianggap dapat mempengaruhi kehidupan manusia di dunia ini. Bentuk2 ritual kepercayaan ini sangat berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Namun di dalam perbedaan tersebut, persamaannya masih tetap lebih menonjol karena dewa-dewi yang dipuja dan inti dari penghormatan tersebut adalah sama hakikatnya.
Asal Usul Dewa-Dewi Dalam Kepercayaan Tradisional Tionghoa
Lalu, kita harus bertanya, apa dan siapa saja yang dapat dianggap sebagai dewa-dewi yang ditinggikan dalam kepercayaan tradisional ini? Bila Sdr. Perfect Harmony telah mengulas dewa-dewi ditinjau dari segi agama masing2, maka saya tak akan mengulangnya lagi dan mencoba meninjau dari segi pandang yang lain, yaitu jenis2 dan asal usul dewa-dewi tersebut.
Secara garis besar maka jenis2 dewa-dewi yang dipuja dalam kepercayaan tradisional ini berdasarkan asal usulnya adalah : Bentuk penghormatan kepada alam (Ze4 Ran2 Chong2 Bai4) .
Kategori ini termasuk dewa-dewi yang paling awal karena telah ada sejak zaman dahulu kala jauh sebelum munculnya penghormatan jenis lainnya. Karena di zaman dulu, alam merupakan tantangan keras bagi leluhur bangsa Tionghoa untuk bertahan hidup, maka leluhur bangsa Tionghoa berusaha hidup harmonis dalam kerasnya alam.
Dewa dari jenis penghormatan ini misalnya : Yu4 Huang2 Da4 Di4 = Raja Langit, merupakan bentuk penghormatan pada langit. Fu2 De2 Zheng4 Shen2 (Tu3 Di4 Gong1 atau Tho Te Kong) = Dewa Bumi/Tanah, merupakan penghormatan pada bumi. Wu3 Lei2 Yuan2 Shuai4 (Lei2 Gong1 atau Li Kong) = Dewa Petir, merupakan penghormatan pada petir. dan masih banyak yang tak saya sertakan di sini, bila perlu akan diturunkan dalam artikel tersendiri.
Bentuk penghormatan kepada leluhur (Zu3 Xian1 Chong2 Bai4) Kategori ini muncul setelah adanya pengaruh Konfusianisme yang sangat menekankan pentingnya penghormatan kepada leluhur, terutama yang berjasa dan berkontribusi bagi orang banyak. Bila tidak ada leluhur, tentu kita tidak akan berada di sini sekarang dapat berdiskusi di forum ini. Dewa-dewi bentuk penghormatan terdiri dari tokoh2 sejarah besar, tokoh2 mitologi yang dianggap sebagai leluhur jauh maupun dekat, misalnya :
Tokoh2 sejarah :
Kaisar pra-Dinasti Xia seperti Yao2, Shun4 dan Yu2.
Kong3 Zi3 Gong1 = Konfusius/Khonghucu, lambang kebijakan. Fo2 Zu3 = Buddha Sakyamuni/Hud Cho.
Tai4 Shang4 Lao3 Jun1 = Lao-tse. Guan1 Sheng4 Di4 Jun1 = Kwan Kong, lambang kesetiaan. Bao1 Gong1 = Bao Zheng/Hakim Bao, lambang keadilan.
Tian1 Shang4 Sheng4 Mu3 = Ma Zu/Ma Cho, lambang bakti anak terhadap orang tua.
Tokoh mitologi : Yuan2 Shi3 Tian1 Wang2 = Pan Gu, tokoh mitos penciptaan alam semesta. Nu3 Wa1 Niang2 Niang2 = Nu Wa, tokoh mitos penciptaan manusia. Qi2 Tian1 Da4 Sheng4 = Sun Go Kong, tokoh mitos dalam cerita Perjalanan ke Barat (Xi You Ji). Xuan1 Yua2 Shi4 = Huang Di, kaisar purba di abad 27 SM.
Wu3 Ke2 Da4 Di4 = Shen Nung, ahli pertanian dan obat tradisional. Bentuk lain2 (Shu4 Wu4 Chong2 Bai4) Kategori ini adalah bentuk penghormatan yang tidak termasuk ke dalam kategori di atas. Misalnya :
Men2 Shen2 = Dewa Pintu.
Zao4 Jun1 = Dewa Dapur.
Bila diperhatikan, maka hampir semua dari dewa-dewi yang ditinggikan di dalam kepercayaan tradisional ini adalah dimanusiakan tanpa memandang bentuk asalnya. Ini terutama terlihat dalam bentuk penghormatan pada alam maupun bentuk2 lain. Namun apapun bentuk yang ditunjukkan (patung, papan nama penghormatan deelel), yang dipuja dan dihormati tentu bukan bentuk real darinya. Jadi yang dilakukan dalam kepercayaan tradisional ini bukanlah memuja sang patung ataupun papan tadi, namun adalah memuja dan menghormati dewa-dewi yang bersangkutan. (Bersambung)
Credit to:
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing List Budaya Tionghoa
Description English: The Shou Qiu site – the two giant turtle-borne steles on the eastern and western side of a small lake. As almost all turtles of these kind, the two turtles look to the south. The western stele is known as “Qing Shou Stele”, the eastern stele, as the “Wan Ren Chou Stele” Date 24 January 2011 Source :Vmenkov , This file is licensed under the Creative Commons Attribution-Share Alike 3.0 Unported, 2.5 Generic, 2.0 Generic and 1.0 Generic license.
Source Pbdragonwang , ” The Statue of Lei Gong in Tainan Fongshen Temple ( the temple of Wind-god).This file is licensed under theCreative Commons Attribution-Share Alike 3.0 Unported]

Pengertian Agama Menurut Budaya Tionghoa

Sebelum memasuki apa yang dimaksud alam kematian menurut kepercayaan Tionghoa, kita perlu mengetahui dahulu apa yang dimaksud dengan agama dalam budaya orang Tionghoa.

Pertanyaan umum, apakah orang Tionghoa memiliki agama ? Agama seperti apa ? Pertanyaan yang mungkin sering dilontarkan dan tanpa disadari akan menisbikan pengertian apa yang dimaksud dengan agama dalam khasanah budaya Tionghoa.

Agama dalam khasanah bahasa Mandarin adalah jiao 教 atau ajaran, dimana berasal dari dua kata yaitu xiao 孝 dan pu 攵. Xiao bermakna bakti, tapi Michael Saso mengartikan adalah cinta kasih orang tua dan anak. Saya sepakat dengan pengertian dari Michael Saso ini.

Pu 攵 bermakna adalah pukulan atau hukuman. Secara keseluruhan makna adalah cara atau ajaran mencegah terjadinya kekacauan dalam masyarakat. Mirip dengan pengertian agama dalam bahasa Sansekerta yaitu "A" adalah tidak dan "Gam" adalah kekacauan, jadi agama adalah suatu cara mencegah kekacauan dalam masyrakat. Tentunya disini bisa kita lihat perbedaan pandangan dengan kepercayaan lain, dimana makna agama lebih mengarah kepada pengertian religi.

Richard King menuliskan: Pada abad ke-3 kita menemukan seorang penulis Kristen, Lactantius, yang secara eksplisit menolak etimologi Cicero dan kemudian menjelaskan bahwa religio berasal dari re-ligare, yang berarti mengikat kebersamaan atau berhubungan.

Sedangkan pengertian lain adalah "re" kembali, "legere" asal atau religi artinya kembali ke asal.
Perbedaan pengertian akan makna religi ini seringkali menyulitkan orang Tionghoa dalam menyikapi pandangan hidup mereka, terutama yang berdasarkan konsep filsafat, budaya dan juga kepercayaan-kepercayaannya.

Sebenarnya mungkin lebih tepat jika kita mulai belajar atau mau menerima bahwa ada pandangan tentang hal yang disebut agama dalam konteks atau pengertian yang berbeda. Seperti apa yang ditulis oleh Van Schie :

Religi ialah keseluruhan mitos, ritus dan tata hidup yang merupakan pernyataan serta pengungkapan kepercayaan manusia, dan bahwa Gaya Misterius mempengaruhi semua aspek kehidupannya.

Demikian pula pandangan tentang alam kematian yang beragam, secara umum yang dikenal luas sekarang ini hanya dua yaitu reinkarnasi atau rebirth menurut sebutan kaum Buddhist dan satunya adalah surga dan neraka. Tapi jika mau menilik teks-teks dan kitab-kitab kuno orang Tionghoa pra dinasti Han, dapat ditemukan banyak pandangan tentang alam kematian yang kurang lebih adalah berpindah alam.

Kitab Li Ji 礼记 yang merupakan salah satu kitab utama agama Ru isinya kurang lebih seperti itu. Dalam prakteknya terkadang kepercayaan dan tradisi orang Tionghoa dianggap aneh dan tidak masuk akal, sering dianggap tahayul. Padahal menurut saya definisi tahayul sendiri tidak jelas.

Yang ironis, apa yang disebut jiao 教 atau agama dalam masyarakat Tionghoa jadi sering tergeser menjadi hanya ajaran kehidupan saja. Misalnya pandangan itu menimpa terhadap mereka yang menjadi penganut agama Ru 儒教 atau agama Tao 道教. Padahal jika kita mau menggunakan definisi religi dari G. Van Schie, maka agama Ru dan agama Tao bisa termasuk religi.

Sebutan umum yang lain adalah zong jiao 宗教, dimana kata ini berasal dari dua kata yaitu zong 宗, berasal dari dua kata, yaitu mian 宀 dan shi 示. "Mian" berarti adalah atap dan tembok atau rumah, tempat bernaung. "Shi" adalah gambaran atau fenomena langit yang memberitahu manusia akan hal baik atau buruk yang akan terjadi, tapi secara umum arti kata shi sering diartikan adalah ritual.

Gabungan dua kata itu adalah 宗 yang bermakna kuil leluhur atau leluhur dan penghormatan kepada dewata. Dan jiao 教 seperti yang telah diuraikan diatas. Arti kata zong jiao 宗教 bisa berarti adalah ajaran yang bertujuan mencegah kekacauan dimasyarakat dengan penghormatan pada leluhur dan atau Dewata atau Tuhan dalam istilah yang umum berlaku.

Awalnya sebutan zong jiao 宗教 ini berasal dari Buddhism Mahayana Tiongkok 中国佛教大乘宗 yang makna awalnya adalah ajaran Buddha dan Murid-murid-Nya. Julia Ching beranggapan bahwa kata zong jiao tidak ada dalam kosa kata Mandarin . Dia menekankan bahwa kata zong jiao 宗教 berasal dari Jepang .

Julia Ching tidak salah jika mengatakan demikian, karena pengertian zong jiao 宗教 yang ia maksudkan adalah pengertian dari kata religion, tapi dengan beranggapan bahwa kosa kata itu sebelumnya tidak ada adalah tidak tepat.

Dengan melihat pengertian kata zong jiao dari bahasa mandarin, maka bisa diperluas konteks religi yang awalnya sempit menjadi amat luas, kepercayaan rakyat bisa juga menjadi agama dalam pengertian religi.

Satu hal yang selalu dipaksakan bahwa agama-agama Tionghoa sering dikatakan bukan agama karena tidak memiliki nabi. Pengertian nabi pada hakekatnya memang tidak dikenal di dalam khasanah budaya Tionghoa terutama agama-agama mereka. Tapi mereka menggunakan kata shengren 圣人 atau sage atau orang suci.

Pengertian shengren 圣人 harus diartikan secara luas, tidak bisa sempit hanya sekedar orang suci saja. Salah satu pengertian tentang shengren 圣人 bisa diambil dari kutipan Mencius 孟子 bahwa orang suci adalah orang yang berbudi dan bermoral baik yang ada di masyarakat yang patut dijadikan contoh. 圣人,人伦之至也

Sheng ren 圣人 bisa diartikan sebagai berikut: apa yang dimaksud shengren 圣人 adalah orang yang pengetahuan dan budi pekertinya sudah mencapai yang sulit digapai oleh kebanyakan orang, menyatukan dirinya dengan alam, pengetahuannya sudah menembusi tentang alam semesta.

Karena pengertian yang begitu luas dan tidak terbatas pada satu golongan atau ras, maka gelar atau sebutan shengren 圣人 bisa diberikan kepada siapapun yang dianggap layak. Salah satunya adalah penyebutan untuk Sakyamuni Buddha sebagai 西方圣人 atau "Orang Suci dari Barat".

Bahkan gelar itu tidak saja terbatas pada tokoh-tokoh agama tapi juga bisa pada orang yang benar-benar menguasai satu bidang dan berdedikasi mengabdikan diri pada masyarakat tanpa pamrih. Misalnya Zhang Zhongjing 张仲景 (154-219 AD) yang diberi gelar orang suci di bidang pengobatan 医圣 .

Pengaruh tokoh-tokoh filsuf seperti Guan Zi 管子 (723-645 BC) dan Ji Liang 季梁 ( ?-704 BC) memberikan pengaruh besar terhadap para filsuf setelah mereka, seperti Kong Zi dan Lao Zi. Terutama dalam memberikan pengertian yang berbeda tentang 天 Tian atau Langit yang pada jaman sekarang ini sering diasosiasikan dengan Tuhan.

Misalnya Guan Zi 管子mengatakan bahwa segala sesuatu itu berasal dari air 管子 dan elemen yang membentuk semua kehidupan itu adalah jing qi 精汽 atau inti dan qi.

Ji Liang 季梁 memberikan terobosan luar biasa dengan mengatakan bahwa empunya atau majikan Dewata atau Langit adalah rakyat, pernyataan Ji Liang ini tercatat dalam kitab Chun Qiu 春秋. Bo Yangfu 伯阳父 (tidak jelas masa hidupnya tapi diperkirakan sekitar 800an BC hingga 700an BC),yang menyatakan prinsip Yin Yang yang dikaitkan dengan Langit dan Bumi.

Selain itu adalah Zhou Yi 周易 atau yang sering disebut dengan kitab Yi Jing 易经 (Book of Change/ Kitab Perubahan) dikatakan bahwa ”Langit berjalan terus, seorang manusia sejati selalu memperbaiki tiada henti” 天行健君子以自强不息.

Disini tidak akan terlalu membahas masalah perbedaan agama dengan religion, apa yang dipaparkan adalah sekedar meminta pembaca agar memahami pengertian agama tidaklah selalu dari satu perspektif saja. Masyarakat dan budaya yang berbeda akan menghasilkan pengertian tentang agama yang berbeda pula.

referensi: Pengertian agama menurut Budaya Tionghoa

Persamaan dan Perbedaan agama yang di anut leluhur

Untuk kali ini saya mencoba untuk membahas tentang Persamaan dan Perbedaan agama dan kepercayaan yang dianut leluhur

Setiap hari kalian pasti menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran agama dan kepercayaan kalian masing-masing. Kemudian apa yang ada di benak kalian ketika berbicara tentang agama? Apa sebenarnya yang dimaksud dengan agama? Dalam antropologi, agama merupakan salah satu dari tujuh unsur budaya yang harus dipelajari yang di dalamnya termasuk sistem kepercayaan atau sistem religi. 
Berbagai upacara keagamaan atau perayaan agama sebagai salah satu bentuk bahwa kita sebagai manusia yang beragama harus menjalankan kewajibannya sebagai manusia yang taat beragama. Agama berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari keberadaannya sendiri dan keberadaan alam semesta. Agama dapat membangkitkan kebahagiaan batin yang paling sempurna dan juga perasaan takut dan ngeri. Agama memberi lambang-lambang kepada manusia. Dengan lambang-lambang tersebut mereka dapat mengungkapkan hal-hal yang susah diungkapkan. Ide tentang Tuhan telah membantu memberi semangat kepada manusia dalam menjalankan tugas-tugasnya sehari-hari, menerima nasibnya yang tidak baik atau bahkan berusaha mengatasi kesukaran-kesukaran yang banyak dan berusaha mengakhirinya. 

Sebenarnya, kepercayaan tradisional hanyalah sebagian kecil dari kebudayaan Tionghoa itu sendiri, namun kepercayaan tradisional yang terbentuk dari kebudayaan leluhur masyarakat Tionghoa sejak zaman pra-sejarah kemudian menjadi salah satu tulang punggung transformasi kebudayaan Tionghoa selama ribuan tahun dalam sejarahnya.

Jadi dapat dikatakan, kepercayaan tradisional ini muncul dari kebudayaan dan merupakan bagian darinya dan dalam perkembangannya juga mempengaruhi bentuk kebudayaan dan segala transformasinya.

Menurut dasar pikiran orang Tionghoa, seluruh fenomena alam itu dapat dibagi dua klasifikasi yaitu Yang dan Yin. “Yang” merupakan prinsip dasar untuk laki-laki, matahari, arah selatan, panasnya cahaya (siang), dan segala yang termasuk keaktifan, sedangkan “Yin” adalah suatu prinsip seperti: wanita, bulan, arah utara, dingin, gelap (malam), dan segala yang bersifat pasif. 
Orang Tionghoa beranggapan bahwa manusia harus dapat menyesuaikan diri dengan ritme alam semesta. kehidupan harus harmonis dengan tiga dasar yaitu: kehidupan langit, bumi, dan kehidupan manusia itu sendiri. Di samping itu harus disesuaikan pula dengan fengshui yang berarti angin dan air. Penyesuaian itu berarti hidup manusia itu harus disesuaikan dengan arah angin dan keadaan air di mana manusia bertempat tinggal. Tiap bangunan yang dipergunakan harus pula disesuaikan dengan keadaan fengsui, sehingga akan terhindar dari segala malapetaka.

Kedua prinsip yin dan yang ini merupakan nafas dan kekuatan yang dilambangkan dalam bentuk lingkaran yang dibagi dalam dua bagian dengan garis yang saling melingkar yang memisahkan Yang dan Yin. Bulatan melambangkan prinsip alam semesta, dimana alam semesta ini terwujud oleh karena kedua prinsip kesatuan antara yang dan yin. “Yang” merupakan daya cipta suatu sifat Tuhan yang memberi gerakan dan hidup kepada sesuatu. “Yin” bersifat bahan atau zat yang diberi kemampuan menerima “yang”, sehingga terjadilah hidup dan bergerak. Dengan kata lain, “Yang” bersifat memberi dan memperbanyak, sedangkan “Yin” bersifat menerima dan menyimpan. Adanya kesatuan hidup ini terjelmalah fenomena alam semesta seperti: air, kayu, bumi, dan makhluk hidup di dalamnya.

Dalam kehidupan orang Tionghoa, ada tiga ajaran yang mereka anut yaitu Buddha, Konfusianisme, dan Taoisme. Ketiga ajaran ini sudah saling menyatu (sinkretisme) dan dikenal dengan nama San Jiao atau Sam Kauw (dialek Hokkian). 

Berbagai agama masyarakat Tionghoa tempo dulu:
1. Buddhisme atau Buddha

Agama Buddha sudah menjadi bagian dari filosofi masyarakat Tionghoa selama hampir 2500 tahun. Meskipun Buddha bukanlah merupakan agama asli, melainkan pengaruh dari India, tetapi ajaran Buddha mempunyai pengaruh yang cukup besar pada kehidupan masyarakat Tionghoa. Tema pokok ajaran agama Buddha adalah bagaimana menghindarkan manusia dari penderitaan (samsara). Kejahatan adalah pangkal penderitaan. Manusia yang lemah, tidak berpengetahuan (akan Buddhisme) akan sangat mudah terkena kejahatan dan sulit untuk membebaskan diri dari penderitaan.

Pendiri agama Buddha adalah Sidharta Gautama. Ia dilahirkan dari keluarga bangsawan di India. Sewaktu kecil, ayahnya menjauhkan Sidharta dari segala macam bentuk penderitaan dunia, sampai pada suatu hari secara tidak sengaja ia melihat orang-orang yang selama ini belum dilihatnya yaitu orang-orang tua, seorang yang sakit dan yang meninggal. Kenyataan tersebut membuatnya kemudian meninggalkan istana dan bertapa di bawah pohon bodhi. Setelah bertapa selama enam tahun akhirnya ia memperoleh pencerahan sempurna dengan menemukan obat penawar bagi penderitaan, jalan keluar dari lingkaran tanpa akhir yaitu melalui kelahiran kembali kepada suatu jalan menuju Nirwana. Jalan ini yang kemudian dikenal juga sebagai inti dari ajaran Buddha.

Buddhisme masuk ke Cina kira-kira abad 3 Masehi, pada masa pemerintahan dinasti Han. Buddhisme selanjutnya mengalami perkembangan sendiri di negara tersebut. Ajarannya di Cina mendapat pengaruh dari kepercayaan yang sudah ada sebelumnya yaitu Taoisme dan Konfusiansianisme. Hal yang paling terlihat dari percampuran ini ialah dengan munculnya sekte Shan, yang juga muncul di Jepang dengan nama Zen yang merupakan Buddhisme India bercorak Taoisme Cina. Wujud dari agama ini adalah timbulnya versi-versi signifikan dari dewa-dewi buddha, seperti Avalokitesvara, Maitreya, dan sebagainya. Avalokitesvara berubah menjadi Dewi Welas Asih (Guan Yin atau Kwan Im). Dewi ini sangat populer sekali di kalangan orang Cina, tempat orang memohon pertolongan dalam kesukaran, memohon keturunannya, dan lain sebagainya. Dewi Kwan Im dalam penampilannya mempunyai 33 wujud, diantaranya yang paling populer adalah Dewi Kwan Im berbaju putih, Dewi Kwan Im membawa botol air suci, dan Dewi Kwan Im bertangan seribu. Dalam Avalokitesvara, Maitreya juga mempunyai wujud lain di Cina yaitu Mi le fo, seorang yang bertubuh gemuk dan raut muka yang selalu tertawa. Dewa ini dikenal sebagai dewa pengobatan.
Perupaan Dewi Kwan Im


Selain dewa-dewi Buddhis, di dalam sistem kepercayaan rakyat Cina mengenal tiga penggolongan utama dewata, yaitu:
1. Dewa-Dewi penguasa alam semesta yang mempunyai wilayah kekuasaan di langit. Para dewata golongan ini dipimpin oleh dewata tertinggi yaitu Yu Huang Da Di, Yuan Shi Tian Sun, dan termasuk di dalamnya antara lain dewa-dewa bintang, dewa kilat, dan dewa angin.

2. Dewa-Dewi penguasa bumi yang memiliki kekuasaan di bumi, walau sebetulnya mereka termasuk malaikat langit. Kekuasaan mereka adalah dunia dan manusia, termasuk akhirat. Mereka dikatakan sebagai para dewata yang menguasai Wu-Xing (lima unsur), yaitu: 
   (a) kayu (dewa hutan, dewa kutub, dan lain sebagainya); 
   (b) api (dewa api, dewa dapur); 
   (c) logam (dewata penguasa kekayaan dalam bumi); 
   (d) air (dewa sumur, dewa sungai, dewa laut, dewa hujan, dan lain sebagainya); 
   (e) tanah (dewa bumi, dewa gunung, penguasa akhirat, dewa pelindung kota, dan lain sebagainya)

3. Dewa-Dewi penguasa manusia, yaitu para dewata yang mengurus soal-soal yang bersangkutan dengan kehidupan manusia seperti kelahiran, perjodohan, kematian, usia, rezeki, kekayaan, kepangkatan dan lain sebagainya. Termasuk dalam golongan dewata penguasa manusia ini adalah para dewata pelindung usaha pertokoan, dewata pengobatan, dewata pelindung, dan peternakan ulat sutra. Di samping itu, terdapat dewata-dewata kedaerahan yang menjadi pelindung masyarakat yang berasal dari daerah yang sama.

2. Konfusianisme/Khong Hu Cu

Konfusianisme atau Konghuchu mulai dikenal di Tiongkok kuno melalui pemikiran-pemikirannya yang cemerlang yang dilontarkan pada zaman Chou Timur (770-221 SM). Konghuchu lahir pada tahun 551 SM berasal dari kota Lu, Provinsi Shandong, China. Pada masa itu dinasti Chou tengah kehilangan kendali terhadap para tuan tanah yang menempati hampir setengah bagian dari wilayah negeri tirai bambu. Konghuchu dibesarkan oleh ibunya karena ia sudah kehilangan ayahnya ketika masih berusia tiga tahun. Ketika dewasa dan bekerja sebagai pegawai di kuil bangsawan Zhou, ia mengikuti semua detail-detail yang terdapat dalam perayaan yang akhirnya menjadikannya sebagai seorang yang ahli dalam ritual agama kuno.

Konfusianisme adalah humanisme, tujuan yang hendak dicapai adalah kesejahteraan manusia dalam hubungan yang harmonis dengan masyarakatnya. Kodrat manusia menurut konfusius adalah “Pemberian Langit”, yang berarti bahwa dalam hal tertentu ia berada di luar piliham manusia. Kesempurnaan manusia terletak dalam pemenuhannya sebagai manusia yang seharusnya. Moralitas merupakan realisasi dari rancangan yang ada dalam manusia. Oleh karena itu, tujuan manusia yang paling tinggi adalah menemukan petunjuk sentral bagi moral yang mempersatukan manusia dengan seluruh isi alam semesta. Bagi Konfusius, manusia adalah baian dari konstitutif dai seluruh isi alam semesta. Manusia harus berhubungan secara indah dan harmonis dengan harmoni alam di luarnya. Ungkapan yang paling terkenal yang merupakan inti ajarannya yaitu tidak berbuat kepada orang lain apa yang dia tidak sukai orang lain perbuatan pada dirinya. Secara praktis ajaran Konfusius dapat disimpulkan menjadi tiga pokok yaitu:
-Pemujaan terhadap leluhur
Pemujaan terhadap leluhur adalah menolong seseorang untuk mengingat kembali asal-usulnya. Di sini asal mula manusia adalah dari leluhurnya. Upacara pemujaan terhadap leluhur di sini diperlukan sesaji. Sebagian besar aktifitas rumah tangga dalam keluarga Tionghoa selalu berhubungan dengan roh leluhur. Salah satu fungsi utama dalam keluarga adalah melakasanakan pemujaan terhadap leluhur. Pemujaan leluhur dipandang sebagai perwujudan dari bakti anak terhadap orang tua dan leluhurnya (Xiao). Pelaksanaan upacara pemujaan leluhur dalam keluarga dipimpin oleh ayah sebagai kepala keluarga. Keluarga Cina menganut garus keturunan dari pihak ayah atau disebut patrilineal. Garis keturunan sangat penting bagi mereka guna menjaga kelangsungan keluarga. Oleh karena itu, anak laki-laki sangat penting untuk meneruskan garis keturunan.

-Pemujaan terhadap Tuhan (Thian)
Konfusius mengajarkan keyakinan kepada pengikutnya bahwa Thian atau Tuhan menjadi awal atas sumber kesadaran alam semesta dan segalanya. Ia menekankan bahwa amat perlu untuk melakukan sembahyang korban terhadap Thian. Pengertian Tuhan dalam kepercayaan Tionghoa sebenarnya juga tidak berbeda dengan agama-agama yang lain yaitu sebagai pencipta alam semesta dan segala isinya. Dalam kepercayaan kalangan rakyat, Tuhan biasanya disebut sebagai Thian atau Shangdi atau Siang Te (dialek Hokkian). Thian adalah penguasa tertinggi alam semesta ini. Karena itu, kedudukan-Nya berada di tempat yang paling agung, sedangkan para dewa dan malaikat yang lain adalah para pembantunya dalam menjalankan roda pemerintahan di alam semesta ini, sesuai dengan fungsinya masing-masing. Di dalam sistem pemerintahan ini, merupakan cerminan dari prinsip Yin dan Yang, yang diwujudkan dalam bentuk pemerintahan di dunia dan pemerintahan surga yang dilakukan oleh para dewa yang dipuncaki oleh Shangdi. Rakyat percaya pemerintahan surga memiliki struktur yang sama dengan pemerintahan dunia. Kalau pemerintahan dunia terdiri dari kaisar, para keluarganya, perdana menteri, menteri-menteri sipil dan militer, dan lain sebagainya, maka pemerintahan surga pun dipimpin oleh Shangdi dan dibantu para dewa-dewa baik sipil maupun militer untuk mengatur tata tertib di alam semesta ini. Sebab inilah maka para kaisar (hung-di) yang di bumi merasa perlu untuk memuja Shangdi (yang berkedudukan di atas) untuk memohon perlindungan dan berkah serta petunjuk-petunjuk untuk menjalankan roda pemerintahan di mayapada ini agar selalu selaras dengan kehendak Shangdi (Shang=di atas, di=tanah).

-Penghormatan terhadap Konfusius
Bagi orang Cina merupakan kewajiban mereka untuk menghormati Konghuchu yang mereka anggap sebagai guru besar seperti halnya penghormatan terhadap orang tua. Konghuchu dianggap telah berjasa dalam mengajarkan dasar-dasar ajaran moral yang sampai sekarang masih terus diterapkan. Filsafatnya yang pada akhirnya menyatu dengan kehidupan masyarakat Cina membuat secara keseluruhan ajaran Konfusius lebih banyak ditujukan kepada manusia sebagai makhluk hidup.

3. Taoisme/Tao

Taoisme merupakan ajaran pertama bagi orang Tionghoa yang dikemukakan Laotze. Ia dilahirkan di Provinsi Hunan pada tahun 604 SM. Dikisahkan, Laotze merasa amat kecewa akan kehidupan dunia, sehingga ia memutuskan untuk pergi mengasingkan diri dengan tidak mencampuri urusan keduniawian. Ia kemudian menulis kitab Tao Te Ching yang kelak menjadi dasar pandangan ajaran Taoisme. Tao berarti “jalan” dan dalam arti luas yaitu realitas absolut, yang tidak terselami, dasar penyebab, dan akal budi. Kitab Tao Te Ching memuat ajaran bahwa seharusnya manusia mengikuti geraknya (hukum alam) yaitu dengan menilik kesederhanaan hukum alam. Dengan Tao, manusia dapat menghindarkan diri dari segala keadaan yang bertentangan dengan irama alam semesta. Taoisme diakui sebagai suatu pre-sistematik berpikir terbesar di dunia yang telah mempengaruhi cara berpikir orang Tionghoa.

Haryono (1994), menyimpulkan bahwa pada dasarnya filsafat Taoisme dibangun dengan tiga kata, yaitu:
Tao Te, “Tao” adalah kebenaran, hukum alam, sedangkan “Te” adalah kebajikan. Jadi Tao Te berarti hukum alam yang merupakan irama dan kaidah yang mengatur bagaimana seharusnya manusia menata hidupnya.
Tzu-Yan artinya wajar. Manusia seharusnya hidup secara wajar, selaras dengan cara bekerja sama dengan alam.
Wu-Wei berati tidak campur tangan dengan alam. Manusia tidak boleh mengubah apa yang sudah diatur oleh alam.
Pada zaman pertengahan dinasti Han muncul seorang yang bernama Zhang Dao-ling, yang juga menulis kitab Tao. Ia juga menyembuhkan orang sakit, membuat jimat sehingga banyak orang yang kemudian menjadi pengikutnya. Begitu besar pengaruhnya hingga pada akhirnya ajaran-ajarannya menjadi dasar dari agama Tao yang kemudian disebut Tao-Jiao. Di dalam penerapannya, aliran mereka berbeda dengan ajaran Tao yang dilontarkan oleh Laotze. Jika Laotze mengajarkan hidup selaras dengan alam, Tao-Jiao justru mengajarkan upaya untuk menentang kehendak alam. Usaha ini mereka lakukan dengan jalan melakukan tapa untuk hidup abadi, membuat jimat-jimat dan kias guna menolak pengaruh jahat, sakit, penyakit, dan sebagainya (Setiawan, dkk, 1982: 156-157). Dalam prakteknya, perwujudan ajaran Tao-Jiao antara lain berupa atraksi-atraksi seperti berjalan di atas bara api, memotong lidah, dan perayaan-perayaan tertentu.


Menurut beberapa artikel yang saya baca 
Kepercayaan di dalam bahasa Mandarin disebut sebagai Xin Yang, dan agama disebut sebagai Zong Jiau. Ada orang yang menyebut kepercayaan tradisional ini sebagai Tri-Dharma (Sam Kau = hokkian, Shan Jiau = mandarin) yaitu gabungan antara Taoisme, Konfusianisme dan Buddhisme. Ada pula yang mengklaim kepercayaan tradisional ini sebagai agama Khonghucu. Semua ini boleh2 saja, namun saya sendiri tidaklah menganggap kepercayaan ini sebagai salah satu agama dari ketiga agama tadi ataupun agama baru yang terbentuk darinya.

Saya merasa kepercayaan tradisional adalah hal yang telah ada jauh sebelum agama eksis dan merupakan bagian dari budaya (sinkretisme budaya), malah mempengaruhi bentuk dan transformasi ketiga agama tadi dalam batas2 tertentu. Di zaman dulu, ada atau tidaknya agama leluhur orang Tionghoa, mereka tetap akan memegang teguh kepercayaan tradisional ini. Mari kita bersama2 membahas dan mendiskusikan kepercayaan tradisional masyarakat Tionghoa ini dari aspek budaya dan sejarahnya tanpa terjerumus dalam debat kusir yang tidak berguna mengenai agama atau kepercayaan yang sering kita lihat di forum lainnya.

Tokoh - Tokoh Tionghoa dalam Revolusi Kemerdekaan

Periode revolusi kemerdekaan merupakan bagian penting dari sejarah Indonesia yang berisikan kisah perjuangan bangsa di berbagai bidang seperti diplomasi, militer,
jurnalisme, sastra, kesehatan, perhubungan dan sebagainya. Perjuangan tersebut
terutama ditujukan untuk mempertahankan kemerdekaan, yang diproklamasikan oleh
Soekarno dan Mohammad Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945, dari ancaman
kolonialisme yang ingin ditegakkan kembali oleh Belanda. Berbagai komponen bangsa
turut menyumbangkan tenaga dalam revolusi kemerdekaan, diantaranya adalah
masyarakat Tionghoa. Peran serta mereka di dalam tahap awal mula berdirinya negara
ini, menunjukkan bahwa orang Tionghoa, seperti juga kelompok masyarakat lainnya,
merasa Indonesia adalah tanah air mereka yang kedaulatannya wajib mereka bela.
Tulisan ini akan menyorot peran masyarakat Tionghoa, terutama tokoh-tokohnya,
dalam revolusi kemerdekaan Indonesia (1945-1949). Karangan ini juga akan membahas
terbentuknya pemerintah Republik Indonesia (RI) serta kiprah para tokoh Tionghoa di
dalam lembaga-lembaga pemerintahan yang baru terbentuk. Juga akan dibicarakan
afiliasi dan kecenderungan politik dari para tokoh tersebut serta gagasan-gagasan
mereka dalam memajukan masyarakat Indonesia. Sebelum masalah-masalah di atas
dibahas, terlebih dahulu akan dibicarakan secara singkat perkembangan kesadaran
politik di kalangan masyarakat Tionghoa di Jawa dari awal abad 20 sampai dengan
masa pendudukan Jepang (1942-1945).


Perkembangan Kesadaran Politik Masyarakat Tionghoa
Kesadaran politik di kalangan masyarakat Tionghoa di Jawa mulai tumbuh pada awal
abad 20. Pada masa itu paham nasionalisme yang berorientasi ke Tiongkok mulai
dianut oleh sebagian orang Tionghoa. Sebagian diantaranya adalah kaum peranakan,
memandang dirinya sebagai bagian dari bangsa China. Sebagai wadah dari aspirasitersebut, kaum Tionghoa mendirikan berbagai organisasi seperti Tiong Hoa Hwee Koan atau THHK2 (1900)Siang Hwee (1908), dan Soe Po Sia (1908).Gagasan nasionalisme yang berorientasi ke Tiongkok semakin terartikulasi dengan terbitnya koran Sin Po pada tahun 1910. Selain menganjurkan nasionalisme Tiongkok, dalam masalah kewarganegaraan, para pendukung koran ini beranggapan bahwa orang Tionghoa di Hindia Belanda adalah rakyat Tiongkok dan bukan kawula Belanda. Meski demikian, tidak semua orang Tionghoa adalah pendukung nasionalisme yang berorientasi ke Tiongkok. Mereka itu terutama adalah kaum peranakan yang mendapat pendidikan Belanda. Pada tahun 1928 kelompok ini mendirikan partai yang diberi nama Chung Hwa Hui (CHH). Para pendukung CHH berpendapat bahwa peranakan Tionghoa adalah kawula Belanda dan harus ikut serta dalam pemerintahan untuk membela kepentingan mereka.
Sikap CHH yang pro kepada Belanda mendapat tanggapan dari kaum peranakan yang berorientasi ke Indonesia. Kelompok ini kemudian membangun organisasi bernama Partai Tionghoa Indonesia (PTI) pada tahun 1932. Pemimpin PTI, Liem Koen Hian, menyerukan agar kaum peranakan Tionghoa yang menganut nasionalisme Tiongkok menukar obyek orientasi mereka ke Indonesia dan bekerja untuk kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian, secara garis besar, sebelum kedatangan Jepang pada tahun 1942, ada tiga golongan utama yang berbeda dalam masyarakat Tionghoa, yaitu mereka yang berorientasi ke Tiongkok, Belanda, dan Indonesia.
Masa pendudukan Jepang berdampak besar terhadap kehidupan masyarakat Tionghoa di Indonesia. Pemerintah pendudukan Jepang menutup seluruh koran yang diterbitkan oleh orang Tionghoa dan melarang orang Tionghoa untuk melakukan kegiatan politik. Sekolah-sekolah berbahasa Belanda juga ditutup dan ini menyebabkan kekuatan kelompok Chung Hwa Hui semakin melemah. Sementara itu, kelompok yangberorientasi ke Tiongkok, terutama Sin Po, beberapa tokohnya ditangkap dan ada yang melarikan diri. Sedangkan kelompok PTI yang beorientasi nasionalisme Indonesia dibubarkan. Liem Koen Hian sebagai tokoh PTI sempat ditangkap pada masa awal pendudukan sebelum kemudian dibebaskan. Pemerintah pendudukan Jepang menyatukan seluruh organisasi Tionghoa ke dalam satu federasi yang diberi nama Hua Ch’io Tsung Hui (HCTH). Para pemimpin HCTH ditunjuk oleh pemerintah pendudukan Jepang dan bertanggung jawab kepada mereka.



Persiapan Kemerdekaan

Menjelang akhir Perang Dunia II, posisi Jepang di Asia dan Pasifik semakin terdesak.
Akibat dari perkembangan situasi ini maka pada bulan Maret 1945 Jepang mendirikan
Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dalam rangka untuk mendapat dukungan dari rakyat. Di dalam lembaga yang dipimpin oleh Soekarno dan Hatta ini terdapat pula beberapa tokoh Tionghoa.
Diantara para tokoh Tionghoa itu yang paling menonjol adalah Liem Koen Hian dari PTI. Dalam rapat-rapat BPUPKI dia sering mengemukakan pendapatnya yang mendukung secara penuh kemerdekaan Indonesia. Dalam suatu sidang BPUPKI ia mengemukakan bahwa masyarakat Tionghoa di Jawa tidak lagi menganut kebudayaan Tionghoa. Liem menekankan bahwa masyarakat Tionghoa telah lebih menjadi Indonesia daripada Tiongkok. Meskipun demikian ia mengidentifikasi adanya kebingungan dalam masyarakat Tionghoa tentang posisi mereka karena adanya perubahan situasi, baik nasional maupun internasional. Dalam pandangan Liem, dalam Republik Indonesia yang akan dibentuk nanti, semua orang Tionghoa mesti diakui sebagai warga negara Indonesia.
Tokoh Tionghoa kedua yang duduk di dalam BPUPKI adalah Oei Tjong Hauw yang berasal dari CHH. Tentang masalah kewarganegaraan, Oei menganjurkan agar pemerintah Indonesia yang akan datang menyatakan semua orang Tionghoa di Indonesia sebagai warga negara Tiongkok. Ia mengemukakan bahwa setelah pendudukan Jepang maka Undang-Undang Kekaulaan Belanda tidak berlaku lagi.
Maka banyak orang Tionghoa peranakan yang dengan sendirinya menjadi warga negara Tiongkok. Meskipun demikian Oei berjanji bahwa ia bersama orang-orang Tionghoa lainnya akan bekerja semaksimal mungkin untuk membantu rakyat Indonesia membentuk negara merdeka. Komitmen ini dilatarbelakangi oleh dua hal, yaitu pertama: Tiongkok juga sedang berjuang untuk mencapai kemerdekaannya dan kedua: orang Tionghoa berhutang budi kepada bangsa dan tanah air Indonesia yang telah menyediakan mata pencaharian bagi mereka.
Tokoh-tokoh Tionghoa berikutnya yang menjadi anggota BPUPKI adalah mereka yang pada masa kolonial Hindia Belanda tidak tergabung dalam tiga aliran politik utama. Tokoh yang pertama adalah Oey Tiang Tjoei. Ia menganut pandangan bahwa meskipun kaum peranakan memiliki darah campuran, namun hal itu tidak membuat mereka menjadi orang Indonesia. Menurut Oey, dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan datang kewarganegaraan Tionghoa sebaiknya diberi pertimbangan yang adil. Secara tidak langsung ia ingin mengatakan bahwa orang Tionghoa sebaiknya dinyatakan sebagai warga negara Tiongkok. Oey tidak melihat adanya pertentangan antara menjadi warga negara Tiongkok dan menjadi anggota masyarakat Indonesia. Hal ini karena dalam pandangan Oey, orang Jepang, Indonesia, dan Tionghoa adalah bangsa Asia dan karena itu perlu untuk bekerja sama dalam mewujudkan Asia Raya.
Selain mereka bertiga, masih ada orang Tionghoa di dalam BPUPKI, yakni Tan Eng Hoa dan Yap Tjwan Bing. Tidak banyak keterangan yang diperoleh mengenai kedua tokoh ini. Apa yang diketahui tentang Tan Eng Hoa adalah bahwa dia seorang sarjana hukum. Sedangkan Yap adalah seorang apoteker lulusan Belanda namun memiliki hubungan yang erat dengan kaum nasionalis Indonesia. Setelah berakhirnya Perang Dunia II, dia bergabung dengan Partai Nasional Indonesia (PNI). Berdasarkan fakta-fakta ini dapat diperkirakan bahwa ia memiliki pandangan yang tidak terlalu berbeda dengan Liem Koen Hian.
Pada tanggal 1 Juni 1945, dalam akhir sidang I BPUPKI, Soekarno menyampaikan pokok-pokok pikirannya tentang Pancasila yang kelak akan menjadi dasar negara.
Rancangan Undang-Undang Dasar Republik dengan batas wilayah bekas teritori Hindia
Belanda berhasil ditetapkan pada tanggal 22 Juni 1945. BPUPKI mengakhiri tugasnya dengan merancang konstitusi pertama Indonesia yang menghendaki sebuah republik kesatuan dengan jabatan kepresidenan yang kuat. Sebagai gantinya dibentuk PanitiaPersiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Peresmian pembentukan panitia ini dilaksanakan pada tanggal 7 Agustus 1945, sesuai dengan keputusan Jendral Besar Terauchi, Panglima Tentara Umum Selatan, yang membawahi semua tentara Jepang di Asia Tenggara.
Anggota PPKI kebanyakan diambil dari bekas anggota BPUPKI. Dari keseluruhan
anggota PPKI, 12 orang adalah wakil dari Jawa, 3 wakil dari Sumatra, 2 dari Sulawesi, 1 dari Kalimantan, Sunda Kecil, Maluku, dan wakil masyarakat Tionghoa. Sebagai wakil masyarakat Tionghoa, sekaligus golongan minoritas lainnya (Arab dan Indo), di dalam PPKI adalah Yap Tjwan Bing. Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang telah menyerah tanpa syarat dan pada tanggal 17 Agustus 1945 atas desakan para pemuda, kemerdekaan Republik Indonesia. diproklamasikan

Komite Nasional Indonesia Pusat

Segera setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, pemerintah pusat dibentuk di Jakarta pada akhir Agustus 1945. Dalam pemerintahan baru tersebut Sukarno diangkat sebagai presiden (1945-1967) dan Hatta ditunjuk sebagai wakil presiden (1945-1956). Kepercayaan diberikan kepada kedua tokoh pergerakan tersebut karena para tokoh politik Indonesia pada umumnya meyakini bahwa hanya merekalah yang dapat berurusan dengan pihak Jepang yang pada saat itu secara de facto masih memiliki kekuatan militer yang besar. Karena Pemilihan Umum belum dapat dilaksanakan maka untuk membantu presiden didirikan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Komite-komite nasional yang serupa juga dibentuk di tingkat provinsi dan karesidenan.
Para anggota KNIP yang pertama dilantik pada tanggal 29 Agustus 1945. Anggota inti dari KNIP terdiri dari 25 orang. Kebanyakan dari mereka sebelumnya merupakan anggota PPKI yang ditunjuk oleh Jepang. Sebagai tambahan, Presiden Sukarno menunjuk 110 orang sebagai anggota KNIP. Dalam bulan-bulan selanjutnya anggota KNIP diperluas menjadi hampir 200 orang.
Sidang KNIP pertama kali diadakan pada tanggal 16 Oktober 1945 di Jakarta.
Berlaku sebagai pimpinan sidang adalah Kasman Singodimedjo. KNIP dan badan pekerjanya sejak dari awal memang telah mengikutsertakan perwakilan dari masyarakat
Tionghoa. Ketika KNIP untuk pertama kali disusun, terdapat dua anggota yang mewakili masyarakat Tionghoa, yaitu Liem Koen Hian dan Yap Tjwan Bing.
Perjuangan melalui jalur diplomasi akhirnya mengahasilkan perjanjian Linggarjati yang diselenggarakan pada 22 Oktober sampai 15 November 1946. Di dalam perjanjian tersebut, pihak Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia di Pulau Sumatra dan Jawa. Kedua belah pihak juga menyepakati untuk membentuk Republik Indonesia
Serikat (RIS) pada tanggal 1 Januari 1949. Di dalam RIS akan diikut sertakan RI dan beberapa negara bagian lainnya. Juga disetujui untuk membentuk suatu uni Indonesia-
Belanda, yang di dalamnya terdiri dari RIS dan kerajaan Belanda. Uni ini akan secara resmi dipimpin oleh Ratu Belanda.
Agar perjanjian Linggarjati diterima secara resmi oleh Indonesia diperlukan persetujuan dari KNIP. Untuk menjamin diterimanya perjanjian tersebut oleh KNIP, pada tanggal 29 Desember 1946 Sukarno mengeluarkan dekrit yang isinya menambah jumlah anggota KNIP dari 200 menjadi 515 orang. Pada awalnya ada penolakan terhadap dekrit ini dari kalangan anggota KNIP. Namun setelah Hatta mengancam bahwa Soekarno dan dirinya akan meletakkan jabatan jika dekrit itu ditolak, akhirnya dekrit tersebut diterima.
Di dalam KNIP ada 7 tokoh Tionghoa yang mewakili masyarakat Tionghoa.
Diantara mereka 4 berasal dari Jawa Timur, yaitu Yap Tjwan Bing (Madiun), Oey Hway Kiem (Bondowoso), Tan Boen An (Kediri), dan Siauw Giok Tjhan (Malang).
Sedangkan 3 wakil lainnya berasal dari Jakarta, yaitu: Liem Koen Hian, Inyo Beng
Goat, dan Tan Po Goan. Selain itu masih ada 3 orang Tionghoa yang mewakili partai politik. Mereka adalah Tan Ling Djie dan Oei Gee Hwat yang mewakili Partai Sosialis (PS) dan Lauw Khing Hoo yang mewakili Partai Komunis Indonesia (PKI). Menurut Siauw Giok Tjhan, dari daftar nama tokoh-tokoh Tionghoa yang tergabung di dalam KNIP dapat disimpulkan bahwa mereka adalah orang-orang yang telah lama ikut aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Selain tiga orang terakhir yang secara jelas tergabung ke dalam partai politik, paling tidak ada tiga tokoh Tionghoa lainnya yang menjadi anggota KNIP yang diketahui merupakan simpatisan atau anggota partai politik tertentu. Mereka adalah Yap Tjwan Bing dan Liem Koen Hian yang merupakan pendukung PNI dan Siauw Giok Tjhan yang merupakan pendukung PS. Khusus mengenai Siauw Giok Tjhan, ia diketahuitelah masuk ke dalam Partai Sosialis, khususnya ke dalam kelompok Amir Sjarifuddin, pada akhir bulan Desember 1945.


Tokoh-tokoh Tionghoa Pada Masa Revolusi

Dalam masa revolusi kemerdekaan, masyarakat Tionghoa sebagai kelompok minoritas berada dalam kondisi terjepit antara pihak Belanda dan Indonesia. Banyak orang Tionghoa yang berada di wilayah kekuasaan RI menaruh simpati kepada Indonesia.
Namun sebaliknya, orang Tionghoa yang berada di wilayah Belanda, sulit untuk menunjukkan dukungan seperti yang ditunjukkan orang Tionghoa di wilayah kekuasaan RI. Pada akhirnya meskipun di dalam hati mereka mendukung Indonesia namun mereka berusaha bersikap netral, walau ada juga sebagian yang terang-terangan bersikap pro-Belanda.
Sementara di daerah yang tidak dikuasai oleh RI maupun Belanda, banyak orang Tionghoa yang menjadi korban tindak kekerasan yang dilakukan oleh anggota laskar, para pemuda revolusioner, maupun para penjahat yang berkedok sebagai pejuang.
Dengan tuduhan sebagai kaki tangan Belanda, mereka menjadi korban pembunuhan, perampokan, penjarahan, dan pemerkosaan. Peristiwa tindak kekerasan terhadap orang Tionghoa yang mendapat liputan luas antara lain terjadi di Tangerang, Kebumen, dan Malang.
Peristiwa Tangerang mendapat kritikan keras dari koran Sin Po yang telah terbit kembali menyusul berakhirnya pendudukan Jepang. Wartawan terkemuka koran ini yaitu Kwee Kek Beng melakukan lawatan langsung ke Tangerang dan melihat penderitaan orang Tionghoa di sana.15 Kwee menunjukkan simpati yang mendalam terhadap orang Tionghoa dan beriskap sangat kritis terhadap pihak Indonesia. Sikap kritisnya itu bercampur dengan kecenderungannya yang memang anti republik. Apa yang kurang dipertimbangkan oleh Kwee, sebenarnya para pemimpin republik berusaha keras untuk mencegah kerusuhan rasial walaupun upaya tersebut kadang-kadang tidak berhasil.
Para bekas anggota PTI dan tokoh peranakan seperti Siauw Giok Tjhan dan Dr.Tjoa Sek Ien justru mengecam dan menyalahkan Belanda atas terjadinya peristiwa Tangerang.16 Dengan kata lain mereka tidak mau menyalahkan pihak RI dalam peristiwa tersebut. Sikap tegas dalam memihak RI juga ditunjukkan oleh Liem KoenHian. Pada masa revolusi Liem bersama Rahman Tamin, seorang pengusaha pribumi, melakukan kegiatan penyelundupan senjata untuk membantu para pejuang Indonesia.
Pada bulan November 1947, Liem dipercaya oleh pemerintah RI untuk menjadi anggota delegasi dalam perjanjian Renville. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Amir Sjarifuddin yang saat itu masih dianggap sebagai orang Partai Sosialis namun di kemudian hari mengaku dirinya telah menjadi komunis sejak lama.
Pada peristiwa pemberontakan PKI di Madiun yang gagal banyak orang komunis yang terbunuh dan tertangkap. Diantara mereka yang tertangkap adalah Amir Sjarifuddin yang pernah menjabat sebagai menteri dalam Kabinet Sjahrir dan kemudian pernah pula menjadi Perdana Menteri. Ada bekas wakil Tionghoa di dalam KNIP yang terlibat di dalam peristiwa Madiun, yaitu Oey Gee Hwat. Ia berhasil ditangkap oleh TNI dan kemudian dijatuhi hukuman mati. Sebenarnya Oey Gee Hwat berasal dari
Partai Sosialis, namun kemungkinan ia telah beralih menjadi anggota PKI sebelum terjadinya peristiwa Madiun.
Dalam masa revolusi ada pula tokoh-tokoh Tionghoa yang menjabat sebagai menteri dalam kabinet pemerintahan republik. Dalam kabinet yang dibentuk oleh Amir Sjarifuddin pada tanggal 3 Juli 1947 Siauw Giok Tjhan ditunjuk sebagai menteri urusan minoritas menggantikan Tan Po Goan. Tan dipandang oleh Amir secara politik lebih dekat kepada Sjahrir. Ketika itu telah terjadi perpecahan di dalam tubuh Partai Sosialis antara kubu Sjahrir dan kelompok Amir. Pada awalnya Siauw menolak untuk menjadi menteri, tetapi akhirnya ia mau menerimanya setelah didesak oleh Amir dan Tan Ling Djie. Menurut Siauw, alasan lain dari kesediaannya menjadi menteri adalah untuk memenuhi janji pemerintah yang tercantum di dalam Manifesto 1 November 1945, yaitu menjadikan semua peranakan Tionghoa, Arab, dan Eropa yang lahir di Indonesia sebagai warga negara dan patriot Indonesia dalam waktu sesingkat mungkin.



Kesimpulan

Masyarakat Tionghoa di Indonesia adalah kelompok masyarakat yang memiliki pandangan heterogen. Aspirasi mereka yang diwakili oleh para tokoh-tokohnya menunjukkan bahwa orang Tionghoa telah memiliki kesadaran politik sejak awal abad ke-20. Kebangkitan kaum pergerakan nasional Indonesia terjadi dalam periode yang sama dengan munculnya kesadaran politik di kalangan orang Tionghoa. Meskipun masyarakat Tionghoa memiliki aspirasi politik yang berbeda-beda, namun ada satu ciri kesamaan diantara mereka, yaitu kesadaran sebagai kelompok minoritas yang hidup di tengah suatu bangsa yang sedang membentuk jati dirinya.
Berbagai aktivitas tokoh-tokoh Tionghoa dalam masa revolusi kemerdekaan menunjukkan bahwa golongan Tionghoa bukanlah kelompok yang eksklusif dan terpisah dari bangsa Indonesia. Mesekipun selama masa kolonial dan pendudukan Jepang, orang Tionghoa diperlakukan sebagai golongan masyarakat tersendiri yang berbeda dengan orang pribumi, namun banyak diantara tokoh tokoh Tionghoa yang menyuarakan aspirasi masyarakatnya yang merasa sebagai bagian integral dari Bangsa Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa sumbangsih masyarakat Tionghoa dalam masa revolusi tidak kalah pentingnya dari sumbangsih kelompok masyarakat lainnya dalam proses pembentukan negara dan bangsa Indonesia.